Tafsir Al-Mishbah: Toleransi untuk Menghindari Perpecahan

26.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


PEMBAHASAN Tafsir Al-Misbah kali ini dimulai dengan Surah Hud ayat 116. Ayat itu berbunyi, “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu, orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi dan melanggengkan kebaikan, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka. Orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka ialah orang-orang yang berdosa (para pendurhaka).”
Makna ayat tersebut ialah Allah menyayangkan bahwa umat-umat sebelumnya tidak ada yang memiliki amal kebaikan yang langgeng hingga hari kiamat.
Ayat tersebut menyiratkan tentang mana yang lebih baik, Anda mencegah kejahatan atau berbuat kebaikan. Tentu saja berbuat keduanya lebih baik, tetapi yang paling dulu ialah mencegah kejahatan. Jika yang buruk telah dicegah, dunia ini pasti akan lebih baik.
Allah mempunyai kebiasaan dalam menghadapi umat manusia. Yang pertama, Allah meruntuhkan masyarakat itu dan biasanya jika mereka telah tenggelam dalam kemewahan duniawi serta gaya hidup berfoya-foya. Kebiasaan Allah tersebut disiratkan ayat 117, yang berbunyi, “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Perbedaan
Kemudian Allah menjelaskan pada ayat 118, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang menyatu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Perbedaan itu Allah ciptakan sebagai suatu keniscayaan supaya manusia bisa mengembangkan toleransi. Inilah pilihan kita sebagai manusia, mau memilih perpecahan atau toleransi yang menenteramkan.
Pada ayat 119 disebutkan, “Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”
Ayat tersebut menyatakan bahwa orang-orang yang bisa memaknai perbedaan dengan toleransi dan harmonisasi merupakan orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah, dan untuk memberi rahmat itulah Allah menciptakan manusia berbeda-beda. Sebaliknya, mereka yang durhaka akan memenuhi neraka jahanam.
Allah melalui ayat 120 menyebutkan, “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
Di sisi lain, ayat 121 berisi, “Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya Kami pun berbuat (pula).”
Pada ayat 122 tercantum pernyataan, “Dan tunggulah (akibat perbuatanmu), sesungguhnya Kami pun menunggu (pula).”
Terakhir, ayat 123 menyatakan, “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya. Maka, sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”
Awal Surah Hud ini memerintahkan manusia untuk beribadah, dan akhirnya memerintahkan kita juga untuk beribadah serta mengamalkan nilai-nilai dalam agama. Salah satunya berani mencegah kejahatan, menjunjung tinggi toleransi, dan senantiasa menghindarkan perpecahan.
Allah memberitahukan kepada manusia bahwa inti kehadiran kita di dunia ialah untuk beribadah kepada-Nya dalam arti yang amat luas dan berbuat kebaikan di muka bumi.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Sabtu, 20 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Harian Detik Minggu | 21 Juli 2013 | Harian Detik Edisi Terakhir | Arturo Cerulli Wali Kota Muslim di Italia | Gardu Listrik Jadi Bilik Asmara

24.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Harian Detik Minggu | 21 Juli 2013
Edisi Nomor 957/Tahun ke-2
Sebuah berita duka. Tak dinyana Harian Detik edisi Minggu, 21 Juli 2013 lalu ternyata menjadi edisi terakhir harian digital keluaran Detikcom ini. Dua hari sebelumnya pada Harian Detik edisi 19 Juli 2013 memang redaktur harian tersebut sudah mengucapkan "selamat tinggal" kepada khalayak. Manajemen Detikcom menyatakan bahwa koran digital yang terbit kali pertama pada 15 Desember 2011, bersamaan dengan hari jadi induknya, TransCorp (kini TransMedia), akhirnya mesti undur diri sejenak. Karena itu, jangan heran jika Anda membuka situs http://harian.detik.com/, yang muncul justru kotak pemberitahuan ini:


Tentu saja banyak yang merasa kehilangan terhadap media digital dengan tampilan visual apik ini. Mudah-mudahan “parkir”-nya Harian Detik hanya untuk sementara. Saya masih menaruh harapan koran digital ini akan kembali hadir dengan semangat baru. Kita tunggu.

By the way, edisi terakhir ini tetap menyuguhkan liputan-liputan menarik. Sampul Harian Detik Minggu dihiasi foto Arturo Cerulli yang memang mengisi rubrik Empat Mata di halaman 14. Sosok ini adalah seorang wali kota di negeri Italia. Yang paling menarik dari sosok Arturo adalah soal keislamannya. Sebagai Muslim, dia baru dua bulan lalu terpilih kembali untuk lima tahun berikutnya sebagai wali kota di negeri mayoritas Katolik tersebut. Dia mengaku agama Islam yang dianutnya pernah menjadi bulan-bulanan lawan-lawan politiknya saat berkampanye. Namun, Arturo berhasil meyakinkan bahwa dia semata ingin mengabdi pada kota kelahiran dan warganya. “Saat itu orang-orang menganggap saya ingin menghancurkan bangunan gereja, juga ingin membangun masjid. Kini mereka tak mengatakan hal itu lagi. Sekarang (kampanye negatif) sudah selesai,” ujarnya saat berbincang dengan Astrid Septriana dan Arif Arianto dari Detik.

Adapun halaman Fokus mengusung judul "Bila Gardu Listrik Jadi Bilik Asmara". Halaman ini mengetengahkan soal pemerintah yang hingga kini masih terus mengkaji kemungkinan menyediakan bilik asmara bagi para narapidana. Namun, sebagian oknum narapidana bisa menyalurkan hasrat dengan beragam cara, sesuai dengan isi kocek mereka. Yang kantongnya pas-pasan, menurut kesaksian seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, memanfaatkan gardu listrik sebagai bilik asmara. []

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Tetap Istikamah dan Berbuat Baik

24.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


PEMBAHASAN Tafsir Al-Mishbah kali ini masih mengulas Surah Hud yakni ayat 110-116. Intinya, Surah Hud berbicara soal bukti kebenaran Al-Quran. Sebabnya, pada masa diturunkannya kepada Nabi Muhammad, Al-Quran selalu mendapat tentangan keras dari masyarakat kafir Quraisy.
Itu juga berlaku pada nabi sebelumnya yang juga diberi kitab sebagai tuntunan hidup oleh Allah. Mereka juga mengalami tantangan serupa.
Seperti tertuang pada ayat 110 Surah Hud yakni "Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Nabi Musa, lalu diperselisihkan tentang Kitab itu. Dan seandainya, tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Tuhanmu, niscaya telah ditetapkan hukuman di antara mereka (hingga hari kiamat). Dan, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir Mekah) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap Al-Quran".
Ayat 111, Allah berkata kepada Nabi Muhammad, "Dan sesungguhnya kepada masing-masing (mereka yang berselisih itu) di hari kemudian pasti Tuhanmu akan menyempurnakan dengan cukup, (balasan) pekerjaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan".
Kemudian, pada ayat 112, "Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan(juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan".
Pada ayat itu, Allah menegaskan kepada Nabi Muhammad untuk istikamah dan tetap memegang teguh akidah, atau tetap melaksanakan ajaran Allah. Tetap salat, zakat, puasa, dan amalan baik lainnya yang diamanatkan Al-Quran. Amanat itu pun berlaku bagi semua umat Islam.
Ayat selanjutnya, 113, 114, dan 115 pun menegaskan itu. Mereka yang tetap istikamah dan juga berbuat kebaikan, segala dosa-dosanya bakal dihapuskan kelak.

Mencegah Kerusakan
Selain pentingnya istikamah, Surah Hud mengutamakan pentingnya menjaga lingkungan. Seperti pada ayat 116, "Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa".

Ayat terakhir itu jelas menyatakan orang-orang yang diselamatkan Allah, yakni orang yang mencegah terjadinya kerusakan di muka bumi. Artinya, sebagai Muslim, selain percaya dan berpegang teguh pada ajaran Allah, kita juga tidak melakukan kerusakan di muka bumi.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Jumat, 19 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Mendalami Agama dan Bersikap Bijaksana

22.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


PEMBAHASAN Tafsir Al-Mishbah kali ini tentang kiamat. Salah satu bagian Al-Quran yang memerinci tentang hari kiamat ialah Surah Hud mulai dari ayat 103, yang tertera, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadap)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).”
Pada ayat 104 disebutkan, “Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.”
Dua ayat itu menyebutkan sudah ditetapkan hari saat manusia dihimpun untuk dihitung amalannya selama di dunia dan hal itu benar-benar akan terjadi.
Ayat selanjutnya, yakni 105, menjelaskan apa yang terjadi di hari kiamat, “Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.”
Salah satu yang perlu digarisbawahi, pada hari kiamat semua terlihat. Ada yang sengsara karena amalan buruk dan ada yang berbahagia karena amalan baik.
Ayat 106 berbunyi, “Adapun orang-orang yang celaka maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik napas (dengan merintih).” Dilanjutkan dengan ayat 107, “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”
Ayat tersebut menjelaskan keadaan bisa berubah berkat ketentuan Allah. Artinya, sebagai Yang Mahakuasa, Allah menepati ancaman dan janjinya kepada umat manusia, tetapi bisa juga memiliki ketentuan yang lain selain itu karena sifatnya yang menetapkan sesuatu atas dirinya. Namun, Allah sendiri tidak terikat dengan itu.

Rahmat Allah Swt
Pada ayat 108 berbunyi, “Adapun orang-orang yang dibahagiakan maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”

Merujuk pada ayat tersebut, suatu ketika Nabi Muhammad saw pernah berkata, “Tidak ada yang masuk surga karena amalnya, engkau pun tidak, saya pun tidak, kecuali kalau saya dapat rahmat dari Allah.”
Ayat 109 berbunyi, “Maka itu (Muhammad) janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu (berhala-berhala). Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikit pun.”
Ayat tersebut menyiratkan semua agama memiliki kepercayaan yang berbeda. Namun, siapa yang benar? Kita boleh berkata Islam yang benar menurut keyakinan saya, tetapi yang bisa memutuskan hanya Allah di hari kiamat.
Jadi, sesungguhnya kita tidak perlu mempertengkarkan perbedaan keyakinan. Karena sejak dulu Allah menciptakan perbedaan dalam hal beragama di dunia.
Karena itu, tidak usah berkata kepada nonmuslim bahwa kamu salah lantas masuk neraka. Yang berhak memutuskan hanya Allah. Akan tetapi, kita harus yakin pada diri kita bahwa agama kita benar berpegang pada Al-Quran dan hadits.
Ayat-ayat tentang hari kiamat itu menyiratkan suatu pelajaran berharga bahwa Islam mengajarkan untuk mendalami agama, tetapi sekaligus bijaksana dalam bersikap. Sebabnya, perbedaan merupakan keniscayaan dan hanya Allah yang berhak menentukan di hari kemudian.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Kamis, 18 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Menuruti Hawa Nafsu Sama dengan Aniaya

21.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


EPISODE Tafsir Al-Mishbah masih membahas Al-Quran Surah Hud. Kali ini ulasan berlanjut pada kisah Nabi Musa yakni dimulai pada ayat 96.
Nabi Musa dibesarkan di istana firaun. Firaun sendiri merupakan gelar-gelar bagi pemimpin tertinggi masa itu dan bukanlah sebuah nama, sama seperti presiden di Indonesia atau sultan di Brunei Darussalam. Jadi, namanya bisa siapa saja yang saat itu menjabat.
Pada ayat 96 Surah Hud tertera, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda (kekuasaan/ajaran) Kami, dan mukjizat (wibawa atau karisma) yang nyata."
Selanjutnya, ayat 97, "Kepada firaun dan pemimpin-pemimpin kaumnya, tetapi mereka mengikut perintah Firaun, padahal perintah Firaun sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar."
Ada rumus di kalangan beberapa ulama, jika Anda mendengar suatu kisah mengenai Al-Quran serta tidak disebut nama pelaku kisah itu, ketahuilah bahwa kisah itu bisa terjadi kembali. Kebetulan, dalam kisah ini tidak disebut nama jelas firaun itu siapa. Dengan demikian, hingga hari kiamat nanti sangat mungkin bermunculan kembali firaun serupa kisah Nabi Musa ini.
Namun, Allah menegaskan, para pengikut firaun itu nantinya bakal masuk ke neraka, sebagaimana ayat 98 jelaskan. "Ia (firaun) berjalan di muka kaumnya di hari kiamat, lalu memasukkan mereka ke neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi."
Itu karena mereka menganggap fi raun sebagai pemimpin bangsa. Padahal, pribadi firaun sendiri buruk, dengan ia mengaku Tuhan, juga karena dia tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat umum, dengan menindas kaum Bani Israil untuk memenuhi kebutuhan bangsanya.

Hari Kemudian
Selanjutnya pada ayat 100-101 Surah Hud itu diceritakan bahwa akhirnya firaun binasa bersama dengan kaumnya pada masa itu. Namun, Allah masih menyisakan sisa-sisa negeri firaun yang telah musnah itu. Seperti disebutkan dalam ayat 100, "Itu adalah sebagian dan berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah."

Kemudian dijelaskan juga pada ayat 101, "Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena itu tiada bermanfaat sedikit pun pada mereka, sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka."
Ayat itu menjelaskan, apa-apa yang datang dari Allah pasti baik. Kalau ada yang tidak baik, itu dari hasil usaha manusia sendiri. Karena Allah tidak zalim ataupun aniaya.
Dengan mengutus para nabi, Allah telah memberikan jalan kepada manusia menuju kebaikan. Tetapi, manusia sendiri yang kerap lebih memilih hawa nafsunya untuk berbuat aniaya terhadap diri sendiri dengan mengingkari kebenaran dan ajaran kehidupan yang dibawa para nabi.
Pada bahasan ayat terakhir, 102, bahkan ditegaskan, agar umat Muhammad dan umat setelah Nabi Muhammad wafat mengambil hikmah dari kisah itu, serta senantiasa mengingat adanya hari kemudian selain dunia. Maka itu perlu menjaga sikap dalam kehidupan.
Dari penggalan ayat 96-102 Surah Hud, kita bisa petik manfaatnya bahwa menuruti hawa nafsu di dunia tiada artinya. Sebab, itu tak akan menjadi penolong kita di hari kemudian dan justru malah menganiaya kita.
Untuk itu, selalu berpegang kepada ajaran Allah yang diturunkan melalui para nabi. Selain itu, untuk berbuat kepada orang lain kita juga harus memperhatikan caranya, tak seperti yang dilakukan firaun pada kaumnya, yakni menjerumuskan mereka dalam kesesatan.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Rabu, 17 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Carilah Rezeki yang Halal di Jalan Allah

21.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


TAFSIR Al-Mishbah kali ini mengupas ayat 84-95 Surah Hud. Ulasan diawali dialog Nabi Syuaib as dengan kaumnya dalam mengabarkan perintah Allah agar bersikap adil dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Kisah itu terdapat dalam Surah Hud ayat 84.
Ayat yang menceritakan Nabi Syuaib tersebut berbunyi, “Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)’.”
Setiap Nabi memberikan dakwah yang berbeda-beda kepada umat masing-masing. Nabi Syuaib dalam hal ini meminta agar umatnya, kaum Madyan, menyempurnakan timbangan jual beli. Sebabnya, bangsa pedagang itu ternyata sering curang dalam berbisnis.
Nabi Syuaib di sini mengkritik keras kaum Madyan yang sebenarnya telah berkecukupan, tapi masih saja berbuat kecurangan. Sudah senang, sudah kaya, tetapi masih korupsi.
Ayat lanjutannya, yakni ayat 86, berbunyi: “Sisa (keuntungan) dari Allah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu.”
Ayat itu menyimpan makna lainnya, agar kaum Madyan berlaku adil dan menyempurnakan takaran sehingga kedua pihak (penjual dan pembeli) menjadi senang.
Hal itu juga bisa diartikan bahwa menjaga hubungan harmonis ketimbang mengambil untung banyak lebih disenangi Allah dan lebih menguntungkan bagi pelakunya. Jangan hanya melakukan kegiatan yang mengambil untung banyak tapi terputus-putus, tetapi lebih baik satu kegiatan yang sedikit tapi berkesinambungan.
Kemudian kala menjawab ajakan Nabi Syuaib, seperti dijelaskan pada ayat 87, kaum Madyan menjawab, “Mereka berkata: Hai Syuaib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami? Sesungguhnya kamu orang yang amat penyantun lagi berakal.”
Jika dimaknai dalam kehidupan sehari-hari, intinya ayat itu menyatakan umat Nabi Syuaib ingin menerapkan perdagangan bebas sesuka mereka tanpa memperhatikan nilai ekonomi. Padahal, Allah menetapkan nilai ekonomi bahwa harta benda kita tidak boleh dipakai untuk bermaksiat. Kita juga tidak boleh mendapatkan harta dari hasil mengeksploitasi orang lain.

Diberi Azab
Namun pada ayat selanjutnya, ayat 88-93, kaum Madyan malah menentang Nabi Syuaib. Mereka mengingkari ajakan Nabi Syuaib untuk menyembah Allah dan berbuat kebaikan, seperti berlaku adil dan berbisnis dengan baik.

Dua ayat selanjutnya, 94-95 Surah Hud, menceritakan bagaimana kaum Nabi Syuaib dibinasakan oleh Allah Swt. “Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dalam rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumah mereka.”
Dari situ kita bisa mengambil hikmah bahwasanya rezeki semua makhluk di dunia telah ditanggung Allah Swt. Kita tidak boleh meragukan hal itu, dan dengan keyakinan jaminan Allah, kita hendaknya semakin bersemangat mencari harta yang halal dan juga baik serta rajin menyedekahkan di jalan Allah.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Selasa, 16 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Hormati Orang Lain dengan Menjawab Salam

21.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


TAFSIR Al-Mishbah kali ini tiba pada pembahasan Al-Quran Surah Hud ayat 69-83.
Dalam ayat-ayat itu diceritakan mengenai kisah dua nabi sekaligus yakni, Nabi Ibrahim, yang gembira mendapatkan kabar dari Allah Swt bahwa bakal memiliki seorang putra, dan Nabi Luth, yang kaumnya mendapat azab karena ingkar kepada wahyu Allah.
Pada dasarnya kisah nabi-nabi Allah di dalam Al-Quran, kecuali kisah Nabi Yusuf, merupakan fragmen-fragmen kisah semata, agar kita bisa mengambil hikmah di dalamnya.
Seperti dalam ayat 69 tertulis, ‘Dan, sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim, dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: Kami memberi salam mohon kiranya penghuni rumah dilimpahi keselamatan.’
Kemudian Ibrahim menjawab: Selamatlah (saya berdoa semoga keselamatan itu mantap dan berkesinambungan untuk kamu semua).
Tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.
Jawaban Nabi Ibrahim tersebut menjelaskan tuntunan dari agama bila ada yang menghormati Anda dengan ucapan salam harus menjawab sama.
Terkait dengan makanan yang disuguhkan, dahulu makanan yang paling istimewa adalah yang dipanggang. Di sini dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim menghormati para tamunya.
Selanjutnya, pada ayat 70 diterangkan, ‘Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.
Malaikat pun berkata: Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.’
Pesan di balik ayat ini adalah tuan rumah harus menghormati tamu dengan menghidangkan makanan. Sebaliknya, tamu menghormati tuan rumah dengan mencicipi makanan. Namun, di sini Nabi Ibrahim tidak tahu bahwa tamu yang datang itu adalah malaikat yang memang tidak makan dan minum.
Ayat lanjutannya, ayat 71, berbunyi, ‘Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir putranya) Ya’qub.’
Kemudian, pada ayat 72 diterangkan, ‘Istrinya berkata: Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan sudah tua pula? Sesungguhnya, ini benar-benar suatu yang sangat aneh.’
Pada ayat itu, istri Nabi Ibrahim, Siti Sarah, menyatakan ketidakmampuan dirinya sebelum suaminya. Dalam ayat ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa menutupi aib suami ialah suatu keharusan seorang istri.
Kemudian jawaban Siti Sarah itu dibantah para malaikat yang mengingatkan kembali kepada kekuasaan Allah yang tidak terbatas.
Kemudian, pada ayat 74-76 dijelaskan, lantaran sadar tamunya malaikat, Nabi Ibrahim mendiskusikan kaum Nabi Luth yang saat itu mempraktikkan homoseksual. Malaikat itu pun diutus untuk memberi azab bagi kaum Luth.
Pada ayat 77-83 diterangkan azab yang dijatuhkan kepada kaum Nabi Luth itu tidak bisa lagi dihindari.
Saat malaikat mendiskusikan ihwal rencana Allah menurunkan azab bagi kaum Nabi Luth, Nabi Ibrahim, yang memiliki sifat pemaaf dan serba kasihan, meminta malaikat agar menangguhkan azab itu. Malaikat menjawab, ‘itu sudah ditetapkan Allah.’
Hingga azab itu diturunkan seperti tertuang pada ayat 82. ‘Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.’
Dari ayat-ayat itu, pelajaran yang dapat dipetik dalam dua kisah Nabi Allah adalah adab dalam kehidupan sehari-hari mengenai bagaimana cara Islam sebagai agama pemberi rahmat sekalian alam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menghormati orang lain, bahkan hal itu bisa dimulai dengan menjawab salam.
Pelajaran lainnya adalah ketentuan Allah tak bisa diganggu gugat sekalipun sesuatu itu tak mungkin bagi manusia. Sebabnya, hal itu bukan kendala sama sekali untuk diwujudkan Allah Swt.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Senin, 15 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Manusia Dilengkapi Potensi untuk Mengelola Bumi

21.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


TAFSIR Al-Mishbah kali ini masih membahas Al-Quran Surah (QS) Hud. Pada ayat-ayat sebelumnya telah diceritakan kisah-kisah para nabi dan rasul Allah yang mendapat penentangan dari kaum mereka.
Pada Surah Hud ayat 61-68, Al-Quran berkisah tentang Nabi Shaleh yang diturunkan Allah kepada kaum Tsamud untuk menyebarkan kebaikan dan mendakwahkan ajaran Allah.
Ayat 61 berbunyi: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Ayat itu menceritakan bahwa ajaran Nabi Shaleh tak berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya, yakni tentang tauhid (keesaan) Allah. Semua nabi mengajarkan kepercayaan akan adanya hari kemudian, kepercayaan pada pembawa pesan Allah yakni para nabi dan rasul, juga mengajarkan adanya malaikat. Itu semua merupakan rukun iman yang sama pada setiap generasi nabi.
Dalam ayat itu pula Nabi Shaleh menekankan manusia menyembah Allah dan beribadah kepada Allah. Ia mengatakan Allah itu yang menciptakan manusia dari bumi. Banyak ulama mengartikan kata bumi dengan tanah. Asal mula manusia itu dari tanah.
Perihal makna muasal tersebut ada yang lantas lebih memerinci dan menyatakan bahwa manusia itu lahir dari pertemuan antara sperma dan ovum. Sperma dan ovum itu terbentuk melalui makanan kita, daging dari hewan maupun makanan dari tumbuhan. Hewan yang dagingnya dimakan manusia juga mendapatkan makanannya dari tumbuhan. Itu sebabnya, kata para pakar, kalau diamati, unsur-unsur manusia sebenarnya mengandung semua unsur tanah. Sebaliknya, unsur-unsur yang ada pada tanah juga ada pada manusia.
Pesan selanjutnya yakni Allah menugaskan manusia untuk memakmurkan bumi. Sejak dulu, tujuan Allah menciptakan manusia ialah untuk memakmurkan bumi. Makna memakmurkan bumi yakni mengolahnya sehingga manusia bisa hidup nyaman di bumi.
Allah ketika menugaskan seseorang atau satu makhluk, pasti makhluk itu telah dianugerahi potensi agar mampu melaksanakan tugasnya. Nah, ketika Allah menugaskan manusia untuk memakmurkan bumi, Allah sudah membekali manusia dengan potensi yang sesuai dengan tujuan-Nya.
Itu sebabnya ketika para malaikat bertanya kenapa bukan mereka yang ditugaskan ke bumi, itu karena malaikat tidak diberi potensi.
Manusialah yang diberi potensi. Potensi itu antara lain punya inisiatif. Sementara malaikat hanya mengerjakan apa yang diperintah Allah. Manusia memiliki inisiatif untuk mengawinkan tumbuhan, misalnya, supaya jenis tumbuhan semakin berlimpah. Malaikat tidak memiliki inisiatif untuk itu.
Potensi manusia lainnya ialah akal serta pengalaman. Adam di surga mendapat pengalaman yang diwariskan kepada generasi-generasi sesudah Adam. Karena itu, kita memiliki pengetahuan bahwa di surga segala kebutuhan Adam terpenuhi. Itu pengalaman yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebelum diterjunkan ke bumi.
Jauh sebelum Allah menciptakan manusia, Allah sudah menyatakan pada malaikat, “Saya akan menciptakan makhluk yang tugasnya di bumi untuk memakmurkan bumi.” Namun sebelum Adam turun ke bumi, ia transit di surga. Tujuannya supaya memperoleh pengalaman dan bisa membentuk bayang-bayang surga di bumi.
Menurut para malaikat, karena manusia memiliki inisiatif maka manusia pastilah rentan berbuat kesalahan. Sebelum manusia diciptakan, malaikat bertanya, “Untuk apa menciptakan makhluk yang nanti akan melakukan kesalahan.” Allah menjawab, “Saya tahu apa yang kamu tidak tahu.”

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Minggu, 14 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Permohonan Ampun Membuka Celah Rezeki

21.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


PEMBAHASAN Tafsir Al-Misbah kali ini tentang Surah Hud ayat 50-60. Nabi Hud as hidup sekitar 2.400 atau 2.300 SM. Allah Swt mengutus dia ke Arab Selatan (sekarang Yaman). Kuburan Nabi Hud pun masih ada, yang berarti secara nyata Nabi Hud benar-benar ada.
Nabi Hud diutus untuk kaum yang saat itu amat kuat kedudukannya di dunia, yakni kaum ‘Ad. Dalam Al-Quran Surah Hud ayat 50, Allah berfi rman, ‘Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Hud’.
Nabi Hud pun berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanya mengada-adakan saja’. (QS 11:50)
Di sini saudara dalam Al-Quran artinya memiliki persamaan dengan mereka. Dengan kata lain, persamaan Nabi Hud dengan kaum ‘Ad tersebut adalah saudara sesuku. Nabi Hud mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah. Namun, arti ibadah di sini ada dua, yakni ibadah murni dan tidak murni.
Ibadah murni adalah ibadah yang ditentukan waktu dan bilangannya oleh Allah. Adapun ibadah tidak murni adalah apa saja yang kita niatkan karena Allah.
Dalam ayat berikutnya, ayat 51, Nabi Hud menyatakan bahwa dirinya tidak menuntut apa pun dari kaumnya karena meyakini Allah, Sang Pencipta yang akan menggembalanya.
Dalam ayat 52 dijelaskan bahwa Nabi Hud memberi jalan bagi kaum ‘Ad untuk mendapat pengampunan Allah. Ayat tersebut berbunyi, ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu berusahalah agar dosamu juga hilang. Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’. (QS 11:52)
Arti memohon ampun atau istigfar adalah memohon agar Allah menutupi dosa-dosa dan menghilangkan kesalahan kita sebagai hambanya.
Namun, tidak selesai sampai di situ saja, perbuatan dosa tersebut harus ditebus dengan pertobatan. Misalnya, yang telah berbohong harus jujur dan jika mencuri harus mengembalikan apa yang dicuri. Intinya selalu berkomitmen untuk berbuat baik, jangan hanya pertobatan di mulut saja.
Pendek kata, istigfar itu adalah upaya penebusan dosa dengan pertolongan Allah. Pertobatan itu merupakan usaha manusia untuk menebus dosa dan memperbaiki diri. Adapun penurunan hujan itu bisa jadi karena kaum ‘Ad adalah bangsa petani atau sebagai representasi dari rahmat.
Ayat ini di antara ayat lainnya mengaitkan pemberian ampunan dari Allah dengan datangnya rezeki.
Secara logis orang yang berdosa itu memang gelisah, tetapi kalau dosanya hilang dia tenang. Dengan pikirantenang, ia akan mudah mengerjakan segala sesuatu sehingga mudah mendatangkan rezeki.
Namun, kaum ‘Ad tidak menerima ajakan itu karena Nabi Hud dinilai tidak memperlihatkan bukti nyata. Bahkan, mereka merasa Nabi Hud telah ditimpa kutukan oleh para tuhan berhala mereka dengan penyakit gila. Sanggahan kaum ‘Ad tersebut disebutkan dalam ayat 53 dan 54.
Setelah lama bersanggah-sanggahan dengan kaum yang ingkar tersebut, Nabi Hud akhirnya menjawab, ‘Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.’ (QS 11:54)

Kembalikan kepada Allah
Jawaban Nabi Hud itu semata merupakan cermin tanggung jawab sebagai pembawa wahyu Allah yang telah sedemikian sering menyampaikan kebaikan. Namun, ia tetap tidak mendapat respons dan meraih keingkaran.

Ia pun mengembalikan semua hal itu kepada Allah. Nabi Hud bahkan dengan berani menantang kaum ‘Ad untuk mencelakai dirinya karena Nabi telah bertawakal dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tuhan sekalian alam dan juga pemelihara sekalian alam.
Pernyataan tersebut disebutkan pada ayat 55-57. Dalam ayat 56-57, Nabi Hud bahkan menjelaskan bahwa tidak ada isi semesta di luar jangkauan Allah. Namun, bukan dengan kekuasaan tersebut, Allah menjadi sewenang-wenang.
Justru sebaliknya, Allah senantiasa berada di jalan lurus atau senantiasa berlaku adil. Kalau Dia jatuhkan siksa, itu merupakan buah dari perbuatan manusia itu sendiri, bukan Allah.
Ayat selanjutnya berbunyi, ‘Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat’. (QS 11:58).
Dalam ayat ini, kata selamatkan muncul dua kali. Para ulama berpendapat sesungguhnya Allah lebih banyak memberikan rahmat dan keselamatan di muka bumi ketimbang azab.
Ayat 59 dan 60 menjelaskan bahwa kaum ‘Ad dimusnahkan Allah dan diganti dengan kaum yang baru. Begitulah kutukan bagi kaum yang ingkar dan hendaknya kita bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Sabtu, 13 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Bersabar dalam Menyiarkan Kebaikan

16.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Qur'an yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


TAFSIR Al-Mishbah kali ini membahas surah Hud ayat 36-49. Surah ini berkisah tentang kaum Nabi Nuh AS yang tetap ingkar. Namun, ada juga yang beriman secara tulus dan menjadi pengikut setia Nabi Nuh.
Kaum yang ingkar menganggap hanya orang-orang terpinggirkan yang pantas menjadi pengikut Nabi Nuh. Padahal, tidak pernah ada perbedaan kelas juga paksaan dalam beragama.
Meski demikian, Nabi Nuh tidak merasa berputus asa dalam berdakwah. Justru Allah Swt yang menegaskan sudah tidak ada harapan bagi kaum Nuh yang ingkar untuk mendapatkan hidayah. Ketegasan tersebut diwahyukan Allah dalam Surah Hud ayat 36 yang berbunyi, “Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu, janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.”
Jangan pernah berputus asa dalam mengajak orang menuju kebaikan, kecuali orang tersebut terbukti memang tidak bisa lagi diajak menuju kebaikan, seperti Nabi Nuh yang tidak berputus asa terhadap kaumnya.
Nabi Nuh malah merasa sedih dengan pilihan kaumnya untuk tetap menjadi kafir. Maka, Allah menghibur dengan kalimat, “Janganlah kamu bersedih atas apa yang mereka kerjakan.”
Setelah dihibur seperti itu oleh Allah, Nabi Nuh berdoa agar kaumnya yang ingkar tersebut dimusnahkan karena mereka akan melahirkan keturunan-keturunan yang ingkar di masa mendatang.
Sebagai jawaban atas doa tersebut, Allah langsung memberikan perintah cukup teknis, agar Nabi Nuh membangun bahtera. Wahyu tersebut (QS 11:37) berbunyi, “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
Ayat selanjutnya (QS 11:38) berbunyi, “Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: ‘Jika kamu mengejek kami, sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami)’.”

Azab Datang
Ayat selanjutnya ialah tentang akhlak yang baik, yaitu jika ada yang mengejek, seyogianya diam. Jikalau berulang-ulang, barulah bermohon agar Tuhan yang membalasnya. Dalam lanjutan ayat tersebut (QS 11:39), Nuh pun menjawab, “Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.”
Ayat 40-41 menyebutkan azab Allah benar-benar datang. Allah menurunkan air bah dari langit dan dari bawah bumi serta menenggelamkan kaum Nuh yang kafir. Orang-orang yang beriman kepada Allah selamat di dalam bahtera, termasuk sepasang hewan dan tumbuhan yang diperintahkan Allah agar diselamatkan oleh Nuh.
Di antara orang-orang yang ingkar tersebut ada anak kandung Nabi Nuh, yang termasuk ditenggelamkan oleh Allah. Hingga akhir banjir, Nuh mengajak anaknya masuk ke bahtera, tetapi si anak lebih memilih pergi ke gunung. Setelah itu, ia dihantam gelombang.
Dalam ayat tersebut jelaslah bahwa amalan seseorang tidak dilihat berdasarkan keturunannya. Pesan mengenai amalan tidak berdasarkan keturunan itu terpresentasi dalam Surah Hud ayat 42-47. Pada ayat 48 diceritakan, semua pengikut Nabi Nuh selamat dan memulai kehidupan baru.
Pada ayat ke-49, Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad, “Itu di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik ialah bagi orang-orang yang bertakwa.”


Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Jumat, 12 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Jangan Remehkan Orang agar Kebaikan Datang

15.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Qur'an yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


PADA kesempatan ini, Tafsir Al-Mishbah mengupas Surah Hud ayat 25-35. Dalam ayat 25-35 itu dijelaskan salah satu cara Al-Qur'an memberikan pelajaran kepada umat manusia adalah dengan menampilkan kisah-kisah nabi.

Kisah-kisah itu sendiri, seperti dongeng, memiliki pengaruh luar biasa. Namun, di sini ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menyampaikan dongeng. Akan tetapi, menyampaikan kisah untuk memberikan pelajaran serta hikmah kehidupan agar kisah itu berdampak baik, serta dicari penyebabnya dan diikuti. Namun, bila kisah itu buruk mesti dihindari dan dicari penyebabnya.

Kisah nabi itu tertera dalam ayat 25 Surah Hud bahwa Allah Swt mengutus Nabi Nuh untuk memberikan peringatan kepada kaumnya beserta umat manusia di sekitarnya.

Kemudian, ayat 26 menjelaskan, kaum Nuh tidak dibenarkan menyembah selain Allah Swt agar tidak ditimpa azabyang amat pedih(pada) hari akhir.

Ayat ini menerangkan, Nuh datang kepada kaumnya untuk menyampaikan peringatan, “Hendaklah kalian beribadah kepada Allah. Aku takut kalau kalian melanggar akan dijatuhkan siksa di hari yang sangat-sangat menyakitkan siksanya.”

Dalam ayat 27 dijelaskan, kaum Nabi Nuh menjawab peringatan Nuh, “Kamu juga kan manusia, seperti kita juga? Apa keistimewaan kamu?”

Nabi Nuh menjawab tantangan itu, “Wahai bangsaku. Seandainya aku mendapat bukti jelas dari Tuhanku bahwa aku dianugerahi rahmat dari Allah melalui anugerah yang memberikan nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk, lalu hal itu disamarkan kepada kamu sehingga kamu tidak mau menerima itu.”

Kaum Nabi Nuh menjawab, “Apa kamu kira, kamu mau paksa kami agar kami menerima. Tidak.”

Melalui ayat itu digambarkan bahwa sejak kedatangan Nabi Nuh tidak ada paksaan dalam menganut agama. Nabi Nuh pun berkata, “Saya sudah dapat bukti dari Allah. Saya mendapat rahmat berupa bimbingan dari Allah. Namun, kalian tidak mengerti itu, tidak mau menerima itu, apa kalian duga bahwa kami mau paksa kalian, tidak.”

Nabi Nuh berkata demikian karena beragama adalah ketulusan. Jika orang dipaksa tentu akan tidak tulus. Tak ada gunanya beragama dipaksa atau diiming-imingi dengan sesuatu.

Ketulusan ini terus berlangsung mulai Nabi Nuh sebagai rasul pertama hingga rasul terakhir Nabi Muhammad saw. Hal itu seperti tertera dalam ayat 28 Surah Hud. “Tidak meminta harta dari kalian. Saya (Nabi Nuh) tulus menyampaikan. Sesungguhnya ganjaran yang aku harapkan hanya dari Allah, dan aku tak mungkin akan mengusir orang-orang yang beriman padaku, walaupun menurut kalian dia gembel.”

Selanjutnya, dalam ayat 29 Surah Hud dijelaskan, akal dan agama menetapkan bahwa siapa pun orang lain harus dihormati. Pasalnya, hanya Allah yang menilai kedudukan seseorang.

Pada ayat berikutnya, 30-35 Surah Hud, dipaparkan bagaimana Nuh telah memberi peringatan kepada kaumnya. Bahkan, ada beberapa golongan dari kaumnya itu yang ingkar. Mereka meminta agar Nuh membuktikan dengan azab yang dijatuhkan kepada mereka.

Dari kisah nabi yang tertera dalam ayat 25-35 Surah Hud itu, pengalaman bisa dipetik, bahwa jangan memandang rendah orang lain dan bersifat picik. Itu penting agar hidayah serta kebaikan mudah merasuki tiap-tiap pribadi.

Sebabnya, hanya Allah yang bisa menilai kedudukan seseorang itu. Karena Allah menilai berdasarkan pakaian takwa, bukan materi, harta, ataupun kedudukan.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Kamis, 11 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Jangan Teperdaya Kehidupan Dunia

13.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Qur'an yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


ULASAN Tafsir Al-Misbah kali ini membahas Surah Hud ayat 15-24. Surah ini antara lain menyampaikan peringatan Allah Swt kepada makhluk-Nya agar tidak teperdaya kehidupan duniawi yang kini amat menggoda sehingga melupakan hubungan manusia dengan pencipta dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Pada ayat 15-16 dengan tegas Allah Swt mengingatkan manusia, ‘Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat. Itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.’

Ayat ini berbicara tentang pandangan hidup manusia dalam kehidupan duniawi. Bahwa siapa yang menghendaki dunia beserta perhiasannya saja (jabatan dunia, popularitas, harta, rumah, anak-anak, dan kendaraan), jika Tuhan berkehendak, Dia akan memberikan dan menyempurnakannya kendati itu tergantung pada usaha mereka.

Di sini berlaku hukum sebab-akibat pada usaha manusia itu. Ada orang yang sudah berusaha dan bekerja keras, tetapi gagal dalam kehidupan duniawinya. Itu disebabkan orang itu belum menyesuaikan dengan hukum sebab-akibat. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman, tetapi bekerja keras dan menyesuaikannya dengan hukum sebab-akibat, dia akan berhasil.

Namun, untuk orang yang beriman dan percaya pada hari kemudian atau hari akhirat, sebenarnya gerak kehidupannya terbatas. Mereka ini jika mampu dan kaya selalu berzakat dan tidak mau berkorupsi karena keyakinan iman mereka itu. Dia (orang yang beriman) membatasi dirinya dengan nilai-nilai yang diiringi kepercayaan akan adanya hari akhir yang baik

Bagi orang tidak beriman, dia hidup tanpa batasan dengan menghimpun keduniawian yang mengakibatkannya lengah terhadap kewajiban dari perintah Allah Swt.

Karena itu, bagi setiap muslim hendaknya mampu membatasi aktivitas duniawi dengan menggabungkan aktivitas ukhrawi (akhirat) agar amalan-amalan di dunia tidak menjadi sia-sia.

Pada bagian lain, ayat Surah Hud mengupas tentang kebenaran Nabi Muhammad saw. Dengan kepribadiannya yang luar biasa sebagai utusan Tuhan, dia memiliki tiga bukti utama. Pertama, Rasulullah mempunyai kepribadian dan sifat yang baik, bahkan sejak kecil mendapat gelar Al-Amin atau yang dipercaya.
Kedua, beliau mempunyai kitab suci Al-Qur'an sebagai amanat Allah Swt bagi petunjuk jalan kehidupan umat manusia. Ketiga, Nabi Muhammad saw telah disebut-sebut keberadaannya dalam kitab–kitab suci sebelumnya.

Jika dicontohkan ibarat seorang ibu yang sedang sakit akan berobat kepada seorang dokter, sang ibu tentu mesti mengenal dan memercayai kredibilitas dokter yang bersangkutan. Dokter tersebut mesti telah mendapat kepercayaan predikat dokter dari masyarakat sehingga yakin sang dokter tidak akan memberikan obat berupa racun, tetapi obat yang menyembuhkan penyakitnya. Nah, perumpamaan seperti ini mesti kita yakini pada kebenaran Rasulullah saw tersebut.

Kehidupan dunia tidak kekal. Misalnya, banyak orang kaya di dalam kehidupan yang menjadi jatuh miskin dan mereka yang berkuasa dengan jabatan tidak akan lama menduduki kekuasaan. Jadi kita jangan silau terhadap kehidupan dunia, jangan teperdaya. Orang seperti itu mesti disadarkan dengan melihat kenyataan hidup.’

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Rabu, 10 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Meyakini Al-Qur'an sebagai Firman Allah Swt

12.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Qur'an yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


BULAN Ramadan ialah bulan diturunkannya Al-Qur'an. Melalui perantaraan Malaikat Jibril, firman Allah Swt berupa wahyu Al-Qur'an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup manusia. Tak hanya itu, Al-Qur'an juga diturunkan sebagai pembeda yang hak dan batil.

Pada edisi ini, Tafsir Al-Misbah mengulas Surah Hud ayat 7-14. Salah satu ayatnya menggambarkan ada resistensi ataupun penolakan umat manusia kepada Nabi Muhammad saw atas firman Allah Swt atau wahyu Al-Qur'an itu.

Disebutkan dalam ayat ke-13 Surah Hud itu, mereka menolak karena seolah-olah Nabi Muhammad saw yang membuat Al-Qur'an. Padahal, sejatinya Al-Qur'an itu langsung diwahyukan oleh Allah Swt.

Karena itu, Allah Swt menantang mereka yang menentang Al-Qur'an yang telah disampaikan rasul-Nya itu dengan pernyataan, “Maka, datangkanlah sepuluh surat yang dibuat yang menyamainya dan panggil orang yang kamu sanggup (menyamainya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”

Dari situ bisa digambarkan, pada masa itu, sikap mereka yang menentang Al-Qur'an dengan berbagai alasan akibat kebodohan, kejahilan, keangkuhan dan kesombongan mereka, serta menolak kebenaran yang disampaikan Rasulullah saw.

Tentu saja penentangan kaum kafi r saat itu menyesakkan dada Rasulullah saw. Sebabnya, selain menentang Al-Qur'an, mereka menginginkan kekayaan dan malaikat untuk diturunkan dari langit ke muka bumi.

Namun, bagi Allah Swt, itu sudah cukup. Allah Swt juga menyatakan bahwa Rasul ialah pemberi peringatan saja bagi mereka yang sangat menentang Al-Qur'an. Sebab, rahmat dan hidayah bagi seseorang yang ingin beriman atau tidak bergantung pada kehendak-Nya.

Ketidaksanggupan para penentang kebenaran Al-Qur'an untuk membuat 10 surat saja sudah menjadi bukti bahwa Al-Qur'an datangnya dari Allah Swt.

Artinya, Al-Qur'an diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad saw ke muka bumi ini sebagai pedoman hidup dan tuntunan manusia yang tak lain sebagai ilmu dari Tuhan, Allah Swt.

Seperti ditegaskan pula dalam ayat ke-14 Surah Hud. “Jika mereka yang kamu seru itu tidak mau menerima seruan atau ajakanmu, katakanlah: sesungguhnya Al-Qur'an itu diturunkan dengan ilmu Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Maka, berserah dirilah kepada Allah saja.”

Lalu pertanyaannya, mengapa manusia diperintahkan oleh Allah Swt untuk berserah diri? Pasalnya, Allah Swt-lah yang menciptakan manusia, bumi, dan langit dalam enam masa atau enam hari.

Bahkan sebagian ulama ada yang menafsirkan bahwa enam hari itu terbagi dalam enam periode. Enam periode tersebut masing-masing dua hari untuk menciptakan langit, dua hari untuk menciptakan bumi, dan dua hari lagi untuk menciptakan sarananya.

Di ujung pembahasan Tafsir Al-Misbah kali ini, umat Islam diajak untuk meyakini bahwa Allah itu ada. Namun, mengenai keberadaannya di mana, kita semua tak harus tahu.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Selasa, 9 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Tafsir Al-Mishbah: Memohon Ampunan agar Diberikan Kenikmatan

11.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Qur'an yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.

Kali ini tafsir mengupas ayat 1-6 Surah Hud. Surah Hud tidak lain ialah Surah Makiyyah yang terdiri atas 123 ayat dan turun sesudah Surah Yunus.

Nabi Hud AS sendiri diperkirakan hidup sekitar 4.000 tahun lalu. Dia diutus oleh Allah Swt di suatu daerah Hadramaut, Yaman, guna berdakwah kepada kaumnya, kaum Aad.

Surah Hud menceritakan kisah Nabi Hud AS. Surah ini juga menceritakan kisah nabi lainnya, seperti Nuh as, Ibrahim as, Saleh as, Syuaib as, Luth as, dan Musa as.

Dijelaskan pada ayat 1-6 itu bahwa Al-Qur'an merupakan kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi, memiliki hikmah, dan diperinci. Maksudnya diperinci, yakni atas beberapa macam tentang ketauhidan, kisah-kisah para nabi dan kaum terdahulu, hukum, akhlak, serta ilmu pengetahuan. Semuanya itu diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

Tidak hanya itu. Kitab Al-Qur'an mengajarkan hikmah yang dapat diamalkan dan amal yang sesuai hikmah itu mengantarkan kebaikan dan menghalangi keburukan. Dengan kata lain, tujuan kehadiran kitab suci Alquran ialah untuk menyembah Allah Swt dan tidak menyembah selain Dia.

Di sini juga diterangkan, melalui Rasulullah, Nabi Muhammad saw ialah nabi terakhir yang diamanatkan Allah Swt menerima wahyu Alquran untuk menyampaikan kabar peringatan dan kabar gembira dari Allah Swt.

Sebabnya, manusia sebagai makhluk Tuhan yang lemah tak mungkin luput dari salah dan dosa. Jika manusia mau memohonkan ampunan kepada Allah atas kesalahannya, misalnya melalui kalimat istigfar (astagfirullah), Allah akan memberikan kabar kesenangan atau nikmat kepada hamba-Nya.

Jadi jelas bahwa perintah Al-Qur'an kepada manusia untuk memohon ampun. Bagi yang bertobat atau beristigfar tentunya akan diberikan kedamaian dan ketenangan.

Dalam ayat 1-6 ini pun dijelaskan pada aktivitas manusia itu, baik dan buruk di dunia pasti menerima ganjaran di dunia. Allah menjanjikan ganjaran itu ada yang diterima di dunia dan ada yang di akhirat nanti.

Namun sebaliknya, jika manusia berpaling dari perintah Allah Swt tidak mau memohon ampunan-Nya, kelak pada hari Kiamat nanti dapat balasannya berupa siksa.

Maka itu, melalui ayat 1-6 Surah Hud ini, manusia ditegaskan Allah Swt untuk kembali kepada-Nya. Pasalnya, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Allah pun mengingatkan manusia untuk tidak berpaling dari perintah-Nya melalui perintah Rasul-Nya khususnya ajaran yang disampaikan pada Nabi Muhammad saw. Sebabnya, Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu apa yang manusia sembunyikan.

Pada ujung ayat 1-6 Surah Hud ini juga ditegaskan bahwa Allah menjamin rezeki makhluknya di seluruh permukaan bumi, termasuk binatang melata. Sebabnya, itu semua tercantum pada kitab-Nya yang nyata di Lauhil Mahfudz.

Karena itu, pada ulasan tafsir ayat 1-6 Surah Hud ini, umat Islam lagi-lagi diingatkan agar terus memohon istigfar atau ampunan kepada Allah. Sebabnya, Allah Swt selalu mengingatkan hamba-hamba-Nya agar tak berputus asa memohon ampunan-Nya karena dalam kehidupan dunia ini bergelimang dengan dosa. Tiba saatnya untuk memohon ampunan itu selama ibadah puasa di bulan Ramadan yang tinggal menunggu waktu.


Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Senin, 8 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar:

Khazanah Ramadhan Republika | Senin, 8 Juli 2013

8.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Khazanah Ramadhan Republika | 8 Juli 2013
Bersiap Menyambut Ramadhan — Umat Islam diharapkan diliputi kegembiraan menyambut datangnya Ramadhan. Sebabnya, kegembiraan itu menjadi modal penting. Perasaan semacam itu memantu Muslim menjalani puasa dengan kenikmatan tanpa beban. Menurut Cendekiawan Muslim Didin Hafiduddin, persiapan mental menjadi hal utama agar menjalani puasa tanpa merasa berat sama sekali.

Masa Berkumpulnya Para Mualaf — Datangnya Ramadhan menjadi tantangan tersendiri bagi para mualaf. Masih kurangnya pemahaman agama Islam membuat mereka tidak setengah-setengah dalam menyambut datangnya bulan suci ini. Para mualaf bahkan sangat antusias mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk bisa menikmati setiap momen berharga yang datang setahun sekali ini.

Memori 'Dung' di Masjid Kauman — Masjid Agung Kauman Kota Magelang didirikan pada 1650 oleh KH Mudakir. Bersama istrinya, Nyai Mudakir, dan para pendahulu warga setempat, ulama berasal dari Jawa Timur itu dimakamkan di belakang masjid. Awalnya, masjid ini mampu menampung sekitar 1.000 jamaah. Masjid yang kini menjadi ikon Kota Magelang itu telah mengalami beberapa kali pemugaran, terutama penambahan dan perluasan bangunan sehingga saat ini berkapasitas sekitar 3.000 orang.

Musim Panas Jadi Tantangan Muslim AS — Bagi Muslim Amerika Serikat, puasa tahun ini terbilang menantang. Sebabnya, selain waktunya yang panjang, puasa kembali dilakukan pada saat musim panas. Muslim di AS diperkirakan berpuasa selama 15 jam.

Mencegah Pusing Kala Berpuasa — Asupan makanan yang tepat saat malam hari bisa meminimalisasi pusing ketika berpuasa siang harinya, juga menghindari terkena gangguan kesehatan lain. Perbanyak makan sayur dan buah agar kebutuhan vitamin bisa tercukupi. Karbohidrat dan protein sebagai sumber energi merupakan makan yang wajib dikonsumsi kala berbuka dan sahur agar nanti 14 jam kemudian tidak kekurangan energi. Namun, sebaiknya menghindari sumber karbohidrat yang akan memancing keluarnya banyak asam lambung, seperti beras ketan dan mi.


0 komentar: