Tafsir Al-Mishbah: Jangan Remehkan Orang agar Kebaikan Datang
Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Qur'an yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.
PADA kesempatan ini, Tafsir Al-Mishbah mengupas Surah Hud ayat 25-35. Dalam ayat 25-35 itu dijelaskan salah satu cara Al-Qur'an memberikan pelajaran kepada umat manusia adalah dengan menampilkan kisah-kisah nabi.
Kisah-kisah itu sendiri, seperti dongeng, memiliki pengaruh luar biasa. Namun, di sini ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menyampaikan dongeng. Akan tetapi, menyampaikan kisah untuk memberikan pelajaran serta hikmah kehidupan agar kisah itu berdampak baik, serta dicari penyebabnya dan diikuti. Namun, bila kisah itu buruk mesti dihindari dan dicari penyebabnya.
Kisah nabi itu tertera dalam ayat 25 Surah Hud bahwa Allah Swt mengutus Nabi Nuh untuk memberikan peringatan kepada kaumnya beserta umat manusia di sekitarnya.
Kemudian, ayat 26 menjelaskan, kaum Nuh tidak dibenarkan menyembah selain Allah Swt agar tidak ditimpa azab—yang amat pedih—(pada) hari akhir.
Ayat ini menerangkan, Nuh datang kepada kaumnya untuk menyampaikan peringatan, “Hendaklah kalian beribadah kepada Allah. Aku takut kalau kalian melanggar akan dijatuhkan siksa di hari yang sangat-sangat menyakitkan siksanya.”
Dalam ayat 27 dijelaskan, kaum Nabi Nuh menjawab peringatan Nuh, “Kamu juga kan manusia, seperti kita juga? Apa keistimewaan kamu?”
Nabi Nuh menjawab tantangan itu, “Wahai bangsaku. Seandainya aku mendapat bukti jelas dari Tuhanku bahwa aku dianugerahi rahmat dari Allah melalui anugerah yang memberikan nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk, lalu hal itu disamarkan kepada kamu sehingga kamu tidak mau menerima itu.”
Kaum Nabi Nuh menjawab, “Apa kamu kira, kamu mau paksa kami agar kami menerima. Tidak.”
Melalui ayat itu digambarkan bahwa sejak kedatangan Nabi Nuh tidak ada paksaan dalam menganut agama. Nabi Nuh pun berkata, “Saya sudah dapat bukti dari Allah. Saya mendapat rahmat berupa bimbingan dari Allah. Namun, kalian tidak mengerti itu, tidak mau menerima itu, apa kalian duga bahwa kami mau paksa kalian, tidak.”
Nabi Nuh berkata demikian karena beragama adalah ketulusan. Jika orang dipaksa tentu akan tidak tulus. Tak ada gunanya beragama dipaksa atau diiming-imingi dengan sesuatu.
Ketulusan ini terus berlangsung mulai Nabi Nuh sebagai rasul pertama hingga rasul terakhir Nabi Muhammad saw. Hal itu seperti tertera dalam ayat 28 Surah Hud. “Tidak meminta harta dari kalian. Saya (Nabi Nuh) tulus menyampaikan. Sesungguhnya ganjaran yang aku harapkan hanya dari Allah, dan aku tak mungkin akan mengusir orang-orang yang beriman padaku, walaupun menurut kalian dia gembel.”
Selanjutnya, dalam ayat 29 Surah Hud dijelaskan, akal dan agama menetapkan bahwa siapa pun orang lain harus dihormati. Pasalnya, hanya Allah yang menilai kedudukan seseorang.
Pada ayat berikutnya, 30-35 Surah Hud, dipaparkan bagaimana Nuh telah memberi peringatan kepada kaumnya. Bahkan, ada beberapa golongan dari kaumnya itu yang ingkar. Mereka meminta agar Nuh membuktikan dengan azab yang dijatuhkan kepada mereka.
Dari kisah nabi yang tertera dalam ayat 25-35 Surah Hud itu, pengalaman bisa dipetik, bahwa jangan memandang rendah orang lain dan bersifat picik. Itu penting agar hidayah serta kebaikan mudah merasuki tiap-tiap pribadi.
Sebabnya, hanya Allah yang bisa menilai kedudukan seseorang itu. Karena Allah menilai berdasarkan pakaian takwa, bukan materi, harta, ataupun kedudukan.
Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Kamis, 11 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.
*dengan penyuntingan seperlunya.
0 komentar: