Tafsir Al-Mishbah: Permohonan Ampun Membuka Celah Rezeki
Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.
PEMBAHASAN Tafsir Al-Misbah kali ini tentang Surah Hud ayat 50-60. Nabi Hud as hidup sekitar 2.400 atau 2.300 SM. Allah Swt mengutus dia ke Arab Selatan (sekarang Yaman). Kuburan Nabi Hud pun masih ada, yang berarti secara nyata Nabi Hud benar-benar ada.
Nabi Hud diutus untuk kaum yang saat itu amat kuat kedudukannya di dunia, yakni kaum ‘Ad. Dalam Al-Quran Surah Hud ayat 50, Allah berfi rman, ‘Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Hud’.
Nabi Hud pun berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanya mengada-adakan saja’. (QS 11:50)
Di sini saudara dalam Al-Quran artinya memiliki persamaan dengan mereka. Dengan kata lain, persamaan Nabi Hud dengan kaum ‘Ad tersebut adalah saudara sesuku. Nabi Hud mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah. Namun, arti ibadah di sini ada dua, yakni ibadah murni dan tidak murni.
Ibadah murni adalah ibadah yang ditentukan waktu dan bilangannya oleh Allah. Adapun ibadah tidak murni adalah apa saja yang kita niatkan karena Allah.
Dalam ayat berikutnya, ayat 51, Nabi Hud menyatakan bahwa dirinya tidak menuntut apa pun dari kaumnya karena meyakini Allah, Sang Pencipta yang akan menggembalanya.
Dalam ayat 52 dijelaskan bahwa Nabi Hud memberi jalan bagi kaum ‘Ad untuk mendapat pengampunan Allah. Ayat tersebut berbunyi, ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu berusahalah agar dosamu juga hilang. Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’. (QS 11:52)
Arti memohon ampun atau istigfar adalah memohon agar Allah menutupi dosa-dosa dan menghilangkan kesalahan kita sebagai hambanya.
Namun, tidak selesai sampai di situ saja, perbuatan dosa tersebut harus ditebus dengan pertobatan. Misalnya, yang telah berbohong harus jujur dan jika mencuri harus mengembalikan apa yang dicuri. Intinya selalu
berkomitmen untuk berbuat baik, jangan hanya pertobatan
di mulut saja.
Pendek kata, istigfar itu adalah upaya penebusan dosa dengan pertolongan Allah. Pertobatan itu merupakan usaha manusia untuk menebus dosa dan memperbaiki diri. Adapun penurunan hujan itu bisa jadi karena kaum ‘Ad adalah bangsa petani atau sebagai representasi dari rahmat.
Ayat ini di antara ayat lainnya mengaitkan pemberian ampunan dari Allah dengan datangnya rezeki.
Secara logis orang yang berdosa itu memang gelisah, tetapi kalau dosanya hilang dia tenang. Dengan pikirantenang, ia akan mudah mengerjakan segala sesuatu sehingga mudah mendatangkan rezeki.
Namun, kaum ‘Ad tidak menerima ajakan itu karena Nabi Hud dinilai tidak memperlihatkan bukti nyata. Bahkan, mereka merasa Nabi Hud telah ditimpa kutukan oleh para tuhan berhala mereka dengan penyakit gila. Sanggahan
kaum ‘Ad tersebut disebutkan dalam ayat 53 dan 54.
Setelah lama bersanggah-sanggahan dengan kaum yang ingkar tersebut, Nabi Hud akhirnya menjawab, ‘Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan.’ (QS 11:54)
Kembalikan kepada Allah
Jawaban Nabi Hud itu semata merupakan cermin tanggung jawab sebagai pembawa wahyu Allah yang telah sedemikian sering menyampaikan kebaikan. Namun, ia tetap tidak mendapat respons dan meraih keingkaran.
Ia pun mengembalikan semua hal itu kepada Allah. Nabi Hud bahkan dengan berani menantang kaum ‘Ad untuk mencelakai dirinya karena Nabi telah bertawakal dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tuhan sekalian alam
dan juga pemelihara sekalian alam.
Pernyataan tersebut disebutkan pada ayat 55-57. Dalam ayat 56-57, Nabi Hud bahkan menjelaskan bahwa tidak ada isi semesta di luar jangkauan Allah. Namun, bukan dengan kekuasaan tersebut, Allah menjadi sewenang-wenang.
Justru sebaliknya, Allah senantiasa berada di jalan lurus atau senantiasa berlaku adil. Kalau Dia jatuhkan siksa, itu merupakan buah dari perbuatan manusia itu sendiri, bukan Allah.
Ayat selanjutnya berbunyi, ‘Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat’.
(QS 11:58).
Dalam ayat ini, kata selamatkan muncul dua kali. Para ulama berpendapat sesungguhnya Allah lebih banyak memberikan rahmat dan keselamatan di muka bumi ketimbang azab.
Ayat 59 dan 60 menjelaskan bahwa kaum ‘Ad dimusnahkan Allah dan diganti dengan kaum yang baru. Begitulah kutukan bagi kaum yang ingkar dan hendaknya kita bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut.
Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Sabtu, 13 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.
*dengan penyuntingan seperlunya.
0 komentar: