Tafsir Al-Mishbah: Menuruti Hawa Nafsu Sama dengan Aniaya

21.7.13 Asmat Abu Tsaqib 0 Comments

Tafsir Al-Mishbah adalah kolom tafsir Al-Quran yang diasuh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A.
dan hadir di sisipan laporan Ramadhan harian umum Media Indonesia.


EPISODE Tafsir Al-Mishbah masih membahas Al-Quran Surah Hud. Kali ini ulasan berlanjut pada kisah Nabi Musa yakni dimulai pada ayat 96.
Nabi Musa dibesarkan di istana firaun. Firaun sendiri merupakan gelar-gelar bagi pemimpin tertinggi masa itu dan bukanlah sebuah nama, sama seperti presiden di Indonesia atau sultan di Brunei Darussalam. Jadi, namanya bisa siapa saja yang saat itu menjabat.
Pada ayat 96 Surah Hud tertera, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda (kekuasaan/ajaran) Kami, dan mukjizat (wibawa atau karisma) yang nyata."
Selanjutnya, ayat 97, "Kepada firaun dan pemimpin-pemimpin kaumnya, tetapi mereka mengikut perintah Firaun, padahal perintah Firaun sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar."
Ada rumus di kalangan beberapa ulama, jika Anda mendengar suatu kisah mengenai Al-Quran serta tidak disebut nama pelaku kisah itu, ketahuilah bahwa kisah itu bisa terjadi kembali. Kebetulan, dalam kisah ini tidak disebut nama jelas firaun itu siapa. Dengan demikian, hingga hari kiamat nanti sangat mungkin bermunculan kembali firaun serupa kisah Nabi Musa ini.
Namun, Allah menegaskan, para pengikut firaun itu nantinya bakal masuk ke neraka, sebagaimana ayat 98 jelaskan. "Ia (firaun) berjalan di muka kaumnya di hari kiamat, lalu memasukkan mereka ke neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi."
Itu karena mereka menganggap fi raun sebagai pemimpin bangsa. Padahal, pribadi firaun sendiri buruk, dengan ia mengaku Tuhan, juga karena dia tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat umum, dengan menindas kaum Bani Israil untuk memenuhi kebutuhan bangsanya.

Hari Kemudian
Selanjutnya pada ayat 100-101 Surah Hud itu diceritakan bahwa akhirnya firaun binasa bersama dengan kaumnya pada masa itu. Namun, Allah masih menyisakan sisa-sisa negeri firaun yang telah musnah itu. Seperti disebutkan dalam ayat 100, "Itu adalah sebagian dan berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah."

Kemudian dijelaskan juga pada ayat 101, "Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena itu tiada bermanfaat sedikit pun pada mereka, sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka."
Ayat itu menjelaskan, apa-apa yang datang dari Allah pasti baik. Kalau ada yang tidak baik, itu dari hasil usaha manusia sendiri. Karena Allah tidak zalim ataupun aniaya.
Dengan mengutus para nabi, Allah telah memberikan jalan kepada manusia menuju kebaikan. Tetapi, manusia sendiri yang kerap lebih memilih hawa nafsunya untuk berbuat aniaya terhadap diri sendiri dengan mengingkari kebenaran dan ajaran kehidupan yang dibawa para nabi.
Pada bahasan ayat terakhir, 102, bahkan ditegaskan, agar umat Muhammad dan umat setelah Nabi Muhammad wafat mengambil hikmah dari kisah itu, serta senantiasa mengingat adanya hari kemudian selain dunia. Maka itu perlu menjaga sikap dalam kehidupan.
Dari penggalan ayat 96-102 Surah Hud, kita bisa petik manfaatnya bahwa menuruti hawa nafsu di dunia tiada artinya. Sebab, itu tak akan menjadi penolong kita di hari kemudian dan justru malah menganiaya kita.
Untuk itu, selalu berpegang kepada ajaran Allah yang diturunkan melalui para nabi. Selain itu, untuk berbuat kepada orang lain kita juga harus memperhatikan caranya, tak seperti yang dilakukan firaun pada kaumnya, yakni menjerumuskan mereka dalam kesesatan.

Sumber: Rahmat Semesta Alam | Media Indonesia | Rabu, 17 Juli 2013
*dengan penyuntingan seperlunya.

0 komentar: